Kamis, 07 Juni 2012

Mon Voyage en Karimunjawa

Mon Voyage en Karimunjawa Slideshow: Maung’s trip from Banjarnegara (near Wonosobo, Jawa, Indonesia) to 2 cities Jakarta and Semarang was created by TripAdvisor. See another Indonesia slideshow. Take your travel photos and make a slideshow for free.

Minggu, 07 Agustus 2011

8

Today is my birthday!Yup, I just tell myself that I'm the special one. I was born in August 8th. For that reason, 8 become my favorite number and may be my lucky number.

It has been a long time to write nothing in this blog. Finally, I can make it real to write now. I have had many examination for last 3 weeks. I had Penmaba Mandiri UNJ (failed), "Ecrire" test, "Oral" test (both in CCF) and the last but not least, Simak UI. I had find myself stuck on my table in my chamber for weeks. But, it doesn't matter because this is y passion. You can do anything for your passion even it's hard enough. But, please believe me, it make you strong and tough inside. And now, let's wait for the result. "Je souhaite il y a un bon nouveaux la semaine prochaine".

Time to back to work is coming!
Mlikum!

Senin, 28 Februari 2011

Judge?

Cold night, February 28, 2011
Hoobastank with its “reason” and Fiona Apple with her “across the universe” are commutating give their song

I just read an article that written by sociologist from UI about dictator and scapegoat. The gist suggests us, as a human being, to be more human being; something that common people recently can’t represent it. Nowadays, many phenomena and incident in news making people can’t imagine where we have lived are happened.

In TV there are Soeharto, Mubarak and the last ones, Khadafi in Libya. The important point sitting in my head of this article is when the writer telling about us as common people spontaneously judged the misery ones are the accused ones of their sin and guiltiness, and then we coincidently judged them and thought that we are the “clean” ones. Are we? How about one of our prophets, Ayub (I think you have already known the story)? Do we think that we are a bunch of Judge?

You can find the article in Tempo dated February 27, 2011

This is my first own hand writing that I published in Media, and this is dedicated for my “sedulur” in Banjarnegara, Tasikmalaya, Jakarta and Lampung. A bientot mes amis! Miss you all!

Kamis, 14 Oktober 2010

Tokobuku INSISTPress: Timbangan Buku: Sebuah Buku yang Meledek Kita

Tokobuku INSISTPress: Timbangan Buku: Sebuah Buku yang Meledek Kita: "Judul: Menyusuri Lorong-Lorong Dunia, Kumpulan Catatan Perjalanan/ Penulis: Sigit Susanto/ Penyunting: Puthut EA/ Tebal: xxxiii + 373 halama..."

Sabtu, 19 Juni 2010

gratefully

Dahulu kala, ada seorg petani miskin memiliki seekor kuda putih yg sangat cantik & gagah.
Suatu hari, seorg saudagar kaya ingin membeli kuda itu & menawarkan harga yg sangat tinggi. Sayang si petani miskin itu tidak menjualnya. Teman-2 nya menyayangkan & mengejek dia karna tdk menjual kudanya itu.

Keesokan hari nya, kuda itu hilang dr kandangnya. Maka teman-2 nya berkata : sungguh jelek nasibmu, padahal klo kemarin di jual kamu kaya, skrg kudamu sdh hilang. Si petani miskin hanya diam saja.

Beberapa hari kemudian, kuda si petani kembali bersama 5 ekor kuda lainnya. Lalu teman-2 nya berkata : wah beruntung sekali nasibmu, ternyata kudamu membawa keberuntungan. Si petani hanya diam saja.

Beberapa hari kemudian, anak si petani yg sedang melatih kuda-2 baru mereka terjatuh dan kakinya patah. Teman-2 nya berkata : rupanya kuda-2 itu membawa sial, lihat skrg anakmu kakinya patah. Si petani tetap diam tanpa komentar.

Seminggu kemudian terjadi peperangan di wilayah itu, semua anak muda di desa dipaksa utk berperang, kecuali si anak petani karna tdk bisa berjalan. Teman-2 nya mendatangi si petani sambil menangis : beruntung sekali nasibmu karna anakmu tdk ikut berperang, kami hrs kehilangan anak-2 kami.

Si petani kemudian berkomentar : Janganlah terlalu cepat membuat kesimpulan dgn mengatakan nasib baik atau jelek, semuanya adalah suatu rangkaian proses. Syukuri & terima keadaan yg terjadi saat ini, apa yg kelihatan baik hari ini belum tentu baik utk hari esok. Apa yg buruk hari ini belum tentu buruk utk hari esok.

Jadilah bijaksana hari ini !!

sumber : dr email temen

Sabtu, 24 April 2010

Lumeria (Mu)

Lemuria/mu merupakan peradaban kuno yang muncul terlebih dahulu sebelum Atlantis. Para peneliti menempatkan era peradaban Lemuria/mu disekitar 75.000 SM – 11.000 SM. Jika kita lihat dari periode itu, Bangsa Atlantis dan Lemuria/mu seharusnya pernah hidup bersama selama ribuan tahun lamanya.



Gagasan Benua Lemuria/mu seharusnya terlebih dahulu eksis dibanding peradaban Atlantis dan Mesir Kuno dapat kita peroleh penjelasannya dari sebuah karya Augustus Le Plongeon (1826-1908), seorang peneliti dan penulis pada abad ke-19 mengadakan penelitian terhadap situs-situs purbakala peninggalan bangsa Maya di Yucatan. Informasi tersebut diperoleh setelah keberhasilan menerjemahkan beberapa lembaran catatan kuno peninggalan bangsa Maya. Dari hasil terjemahannya, diperoleh beberapa informasi yang menunjukkan hasil bahwa Bangsa Lemuria/mu memang berusia lebih tua daripada peradaban nenek moyang mereka (Atlantis). Namun dikatakan juga, bahwa mereka pernah hidup dalam periode waktu yang sama, sebelum kemudian sebuah bencana gempa bumi dan air bah dahsyat meluluh lantahkan dan menenggelamkan kedua peradaban maju masa silam tersebut.

Hingga saat ini, letak dari benua Lemuria/mu pda masa silam masih menjadi sebuah kontroversi, namun berdasarkan bukti arkeolog dan beberapa teori yang dikemukakan oleh para peneliti, kemungkinan besar peradaban tersebut berlokasi di Samudera Pasifik (sekitar Indonesia sekarang). Banyak arkeolog mempercayai bahwa Easter Island yang misterius itu merupakan bagian dari Benua Lemuria. Hal ini jika dipandang dari ratusan patung batu kolosal yang mengitari pulau dan beberapa catatan kunu yang terukit pada beberapa artifak yang mengacu pada bekas-bekas peninggalan peradaban maju pada masa silam. Mitologi turun temurun para suku Maori dan Samoa yang menetap dipulau-pulau disekitar Samudera Pasifik juga menyebutkan bahwa dahulu kala pernah ada sebuah daratan besar di Pasifik yang hancur diterjang oleh gelombang pasang air laut dahsyat (tsunami), namun sebelumnya bangsa mereka telah hancur terlebih dahulu akibat peperangan.

Keadaan Lemuria/mu sendiri digambarkan sangat mirip dengan peradaban Atlantis, memiliki tanah yang subur, masyarakat yang makmur dan penguasaan terhadap beberapa cabang ilmu pengetahuan yang mendalam. Faktor-faktor tersebut tentunya menjadi sebuah landasan pokok bagi bangsa Lemuria/mu untuk berkembang pesat menjadi sebuah peradaban yang maju dan memiliki banyak ahli/ilmuwan yang dapat menciptakan suatu terobosan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Seperti banyak diketemukan oleh beberapa pakar spiritual dan arkeologi, bahwa bangsa lemuria/mu dan Atlantean menggunakan crystal secara intensif dalam kehidupan mereka. Edgar Cayce, seorang spiritual Amerika melalui channelingnya berkali-kali mengungkapkan hal yang sama.

Kuil-kuil Lemuria dan Atlantis menempatkan sebuah crystal generator raksasa yang dikelilingi crystal-crystal lain, baik sebagai sumber tenaga maupun guna berbagai penyembuhan. Banyak info mengenai Atlantis dan Lemuria/mu diperoleh dengan meng-channel crystal-srystal ‘old soul’ yang pernah dipergunakan pada kedua zaman ini. Namun, berbeda dengan bangsa Atlantis yang lebih mengandalkan fisik, teknologi dan gemar berperang, Bangsa Lemuria justru dipercaya sebagai manusia-manusia dengan tingkat evolusi dan spiritual yang tinggi, sangat damai dan bermoral. Menurut Edgar Cayce, munculnya Atlantis sebagai suatu peradaban super power pada saat itu (kalau sekarang mirip Amerika Serikat) membuat mereka sangat ingin menaklukkan bangsa-bangsa didunia, diantaranya Yunanu dan Lemuria yang dipandang oleh para Atlantean sebagai peradaban yang kuat.

Berbekal peralatan perang yang canggih serta strategi perang yang baik, invansi Atlantis ke Lemuria berjalan seperti yang diharapkan. Karena sifat dari Lemuria.mu yang menjunjungi tinggi konsep perdamaian, mereka tidak dibekali dengan teknologi perang secanggih Atlantean, sehingga dalam sekejap, Lemuria/mu pun jatuh ke tangan Atlantis. Para Lemuria/mu yang berada dalam kondisi terdesak, akhirnya banyak meninggalkan buni untuk mencari tempat tinggal baru di planet lain yang memiliki karakteristik mirip bumi, mungkin keberadaan mereka saat ini belum kita ketahui (ada yang mengatakan saat ini mereka tinggal di Planet Erra/ Terra digugus bintang Pleiades).

Mungkin kisah para Lemuria/mu yang meninggalkan bumi untuk menetap di planet lain sedikit tidak masuk akal, tapi perlu kita ketahui bahwa teknologi mereka pada saat itu sudah sangat maju, penguasaan teknologi penjelajahan luar angkasa mungkin telah dapat mereka realisasikan di jauh-jauh hari. Tentunya penguasaan teknologi yang sama pada era peradaban kita ini, belum bisa disandingkan dengan kemajuan teknologi yang mereka ciptakan.

Dari sekelumit kisah yang terurai diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa para Lemurian tidak musnah oleh bencana gempa bumi dan air bah seperti yang dialami oelh para Atlantean, namun karena peranglah yang membuat sebagian dari mereka berguguran. Sementara semenjak kekalahannya oleh bangsa Atlantis, otomatis wilayah Lemuria/mu dikuasai oelh para Atlantean, sampai saat akhirnya daratan itu diterpa oleh bencana yang sangat dahsyat yang kemudian menenggelamkan bersama beberapa daratan lainnya, termasuk diantaranya Atlantis itu sendiri.

Bangsa Lemuria/mu sebenar bisa dikatakan bangsa yang juga mengagungkan keberadaan Matahari sebagai dewa atau penolong mereka. Menurut Churchward, hampir seluruh peradaban Lemuria/mu tinggal di rumah dengan atap yang tembus pandang. Mereka selalu bebas dari stress dan penyakit, serta mampu berusia hingga ratusan tahun. Mengembangkan kemampuan E.S.P-nya (Extrasensory Perception—indra ke-6) selama hampir 40.000 tahun dan digunakan dalam pergaulan sehari-hari serta dalam penelitian-penelitian. Dengan evolusi kemampuan selama berabad-abad, bangsa Mu memperoleh reputasi sebagai ahli telepati, berpindah tempat antar bintang, dan teleportasi. Semua ini menyebabkan tidak dibutuhkan kendaraan pada peradaban mereka. Hampir semua ilmuwan yang menulis kisah tentang bangsa Lemuria/mu mengatakan bahwa mereka secara umum merupakan bangsa yang vegetarian, hidup bercocok tanam, hidup di luar (outdoor), memiliki budaya untuk hidup seimbang dengan alam dan bumi, serta hanya menggunakan sedikit teknologi keilmuan. Bangsa Lemuria lebih berkonsentrasi dalam bermeditasi dan pengembangan ESP. Rata-rata Bangsa Lemuria/mu tidak berminat pada teknologi Bangsa Atlantis dan lebih memilih untuk bereksperimen dengan energi psikis untuk memindahkan objek (dibuktikan oleh Uri Gellar dalam risetnya di Stanford University pada tahun 1970-an), meskipun mereka juga menggunakan gelombang dengan frekwensi tinggi, tenaga matahari, energi crystal, dan teleportasi untuk membuat dan memindahkan objek.

Sebuah laporan mendekripsikan ujian-ujian yang harus dilakukan sebelum menikah pada bangsa Lemuria (ditulis oleh seorang pria bernama Cerve, seorang ahli sejarah Resucrucian). Para tetua menyuruh pria dan wanita untuk memberikan semua harta bendanya hingga mereka tidak memiliki apa pun—tanpa pakaian, makanan, rumah/ tempat tinggal untuk berteduh, ataupun alat-alat. Wanita dan pria itu kemudian ditinggalkan di hutan belantara selama sebulan (28 hari) tanpa pakaian. Dalam jangka waktu itu, mereka harus membuat tempat berteduh, membuat sendiri pakaian mereka, mencari makanan mereka sendiri, membuat peralatan, dan memberikannya untuk pasangannya tanpa terlibat dalam adu argument dan tanpa ada pikiran buruk antara mereka berdua. Jika mereka dapat melalui ujian test tersebut, maka mereka akan di nikahkan dan harta benda mereka yang sebelumnya akan dikembalikan kepada mereka. Namun, jika ujian test tersebut gagal mereka jalankan, maka mereka tidak akan dinikahkan.

Migrasi Bangsa Lemuria bermigrasi dari Benua Mid-Pasifik ke Benua Atlantis dimana mereka dikabarkan berevolusi menuju kesempurnaan. Bukti-bukti peninggalan menggambarkan adanya penemuan-penemuan yang mengagumkan, yang tampak seperti cerita fiksi ilmiah. Lampu yang menyala terang selama ribuan tahun tanpa dirawat, yang diceritakan oleh banyak sekali penulis kuni, adalah salah satu peninggalan dari Atlantis. Beberapa dari “lampu ajaib” ini masih menyala ketika penjelajah Spanyol menemukannya di pelosok hutan Amazon dari 10.000 tahun kemudian! (didokumentasikan dalam buku Robber Charroux’s). Peneliti sejarah kuno menemukan “lampu ajaib” masih menyala di Mesir (yang merupakan koloni Atlantis yang bernama Luxor) lebih dari 9 abad setelah banjir, di pintu kuil yang dilaporkan dapat membuka dan menutup secara otomatis, dan di jaga oleh robot-robot.

Kota Crystal Atlantis Penemuan ini didapatkan dalam dokumen kuno yang dibuat oleh Robert Charmux Sama menakjubkannya dengan penemuan kota yang terendam dibawah air yang terletak di kepulauan Bahama oleh lima orang penyelam pada tahun 1970. piramida dengan corak emas yang megah dikelilingi oleh kubah-kubah, bangunan-bangunan persegi panjang, peralatan-peralatan metal yang tidak teridentifikasi, dan patung yang diatasnya terdapat misterius yang berisi 7 miniatur piramida. Crystal tersebut, dibawa ke permukaan oleh Dr. Ray Brown, memperkuat energi yang melewatinya, memancarkan cahaya yang menyembuhkan penyakit, dan dibuat dengan metode yang masih tidak diketahui oleh para ilmuwan yang menelitinya. Crystal tersebut ditemukan pada ruangan yang bersinar secara misterius didalam piramid bawah air dengan peralatan semacam pistol cahaya yang menyinarinya. Kamera Kirlian, yang dapat merekam gambar-gambar diluar batas kemampuan manusia, menampakkan sebuah mata didalam crystal yang tidak tampak oleh mata telanjang.

Masih belum diketahui teknologi mana yang dapat membuta jalanan campuran antara aspal dan krikil yang rata sejauh ratusan mil yang tetap utuh dalam kondisi lebih dari 10.000 tahun kemudian. Jalan ini ditemuakan di bawah air, pada pantai timur olehj kapal selam penyelam dalam Aluminaut, dan mengandung magnesium oxide.

Pada tahun 1977, terjadi sebuah kejadia misterius di Samudera Atlantik yang berhubungan dengan teknologi yang tidak diketahui. Sebuah piramida setinggi 650 kaki secara misterius bercahaya, dengan air berwarna putih yang berkilauan yang berubah menjadi hijau. Sebuah warna yang kontras dengan gelapnya air pada kedalaman laut. Penemuan itu difoto oleh Arl Marahall pada ekspedisi Cay Sal.

Foto-foto Dr. William Bell’s 1958 yang diambil pada dasar samudera Atlantik menunjukkan sebuah puncak menara berukuran sekitar 6 kaki muncul di sebuah dasar yang menyerupai roda gigi dengan sinar yang aneh keluar dari dasar lubang, apakah ini merupakan bekas “lampu abadi” yang sering dituliskan oleh peneliti-peneliti kuno. “lampu abadi” itu diberi tenaga oleh sebuah tenaga kosmik interdimensi yang diambil keluar dari atmosfir oleh sebuah bentuk konduktor crystal pada puncak piramid/ gedung? Piramida yang lebih besar dari gedung-gedung yang pernah dibuat di dunia pada masa modern telah ditemukan pada dasar samudera Atlantik, di China, dan di Mesir belum dapat disaingi teknologi kita. Piramida-piramida ini memiliki semacam semen yang diakui oleh peneliti-peneliti kita jauh lebih baik dari yang kita gunakan sekarang. Tulisan-tulisan kuno menyebutkan bahwa piramida dilambangkan sebagai kapsul waktu yang berisi sejarah dan teknologi dari kerajaan Matahari dan teknologi Atlantis. Sebuah piramida yang sangat besar, di kedalaman 10.000 kaki pada samudera Atlantik, dilaporkan telah ditemukan dengan kristal yang berdenyut-denyut dipuncaknya, oleh ekpedisi Tony Benik. Grup ini juga menemukan sebuah lembaran kristal, dan mengatakan jika seberkas cahaya dipancarkan melaluinya, akan tampak tulisan misterius didalamnya. Lebih banyak lagi piramid-piramid bawah air yang ditemukan di Amerika Tengah, Yukatan, dan Louisiana, dimana puncaknya juga ditemukan di selat Florida. Sebuah bangunan pualam bergaya Mesir ditemukan diantara Florida dan Kuba. Adakah hubungannya dengan tiang yang memancarkan energi yang ditemukan oleh Dr, zink di Bahama pada tahun 1957? Zink juga membawa barang-barang temuan yang diambil dalam penyelam ke laut Atlantik, dan telah diinterview oleh agen Mind Internasional, Steve Forsberg.

Salah satu penemuan yang menakjubkan dari dasar Samudera Atlantik dilaporkan oleh kru Kapten Reyes pada kapal penyelamat “Talia” dari Spanyol. Mereka merekam bermil-mil kuil berpilar, patung-patung, dan jalan besar yang berliku, dengan jalan-jalan kecil bercabang keluar dari pusat seperti ruji pada roda, serta kuil dan piramid yang sangat megah. Dari kota ini, seperti kota yang ditemukan di perairan Spanyol oleh ekspedisi Dr. Maxine Asher dan kemudian ditemukan oleh ekpedisi Professor Akayonove (semua didokumentasikan dalam foto) menunjukkan kesamaan dengan dekripsi Plato tentang Atlantis. Lebih dari 30 reruntuhan yang berbeda telah diketemukan di dasar laut Atlantik sejak tahun 1956, dan dalam perpustakaan kuno, beberapa pete tua menunjukkan Atlantis dan laut penghubungnya telah ditemukan. Pulau yang diketahui sebagai ibu kota dari negara pada benua yang menyebar dari Afrika Utara dan Eropa menuju Florida dengan iklim tropis pada pantai barat dan selatan, serta iklim dingin pada bagian utara dan timur. Menurut Plato dan ahli-ahli sejarah lainnya, Atlantis memiliki pemerintahan yang paling maju dan damai di dunia pada puncaknya. Dan selama ribuan tahun bumi berada dalam masa damai dengan bentuk sistem politik yang belum ada tandingannya. Ahli-ahli sejarah dan pertualang yang dihormati, seperti Diodorus, Kantor, Marcellinus, Proculus, Plutarch, Herodotus, Timagenus, Aelenus, Theopompos, dan lebih banyak lagi. Semuanya menuliskan tentang Atlantis yang mereka percaya sebagai sebuah peradaban yang benar-benar superior yang hilang ditelan waktu. Semua negara kuno di benua Amerika menuliskan Atlantis dalam peninggalan-peninggalannya.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Lumeria

Sedikit catatan di weekend ini, buat lebih "kena", bisa tonton Indiana Jones : Crystal Skull, (walaupun dikit).

http://www.bibliotecapleyades.net/imagenes4/lemuria_mapaMu_anton.jpg

Senin, 25 Januari 2010

Gus Dur Januari 11, 2010



Ketika Mahatma Gandhi wafat, ia—yang selama hidupnya antikekerasan dimakamkan dengan upacara militer. Ironis, mungkin juga menyedihkan: bahkan seorang Gandhi tak bisa mengelak dari protokol kebesaran yang tak dikehendakinya.

Seorang tokoh besar yang wafat meninggalkan bekas yang panjang, seperti gajah meninggalkan gading. Kadang-kadang ia hadir sebagai ikon: sebuah tanda yang memberikan makna yang menggugah hati karena melebihi kehendak kita sendiri. Kadang-kadang sebagai simbol: sebuah tanda yang maknanya kita tentukan, tak perlu menggugah hati lagi, namun berguna untuk tujuan kita yang jelas.

Sebuah ikon adalah sebuah puisi. Sebuah simbol: alat. Keduanya saling menyilang tak henti-hentinya.

”Pahlawan mati hanya satu kali,” kata orang hukuman dalam lakon Hanya Satu Kali, yang disebutkan sebagai terje­mahan sebuah karya John Galsworthy tapi yang tak pernah saya ketahui yang mana.

Gus Dur bisa disebut seorang pahlawan: ia tak akan meninggalkan kita lagi, begitu jenazahnya dikuburkan. Terutama ketika yang hidup tak akan meninggalkan apa yang baik yang dilakukannya.

Tapi dalam arti lain pahlawan mati hanya satu kali karena ia tak lagi bagian dari kefanaan. Tak lagi bagian dari kedaifan. Tak lagi bagian dari pergulatan untuk menjadi baik atau bebas yang membuat sejarah manusia berarti.

Hanya dalam pergulatan itu, Gus Dur tampak sebagai yang tak sempurna, tapi melakukan tindakan yang sesederhana dan semenakjubkan manusia: dari situasinya yang terbatas ia menjangkau mereka yang bukan kaumnya, melintasi gerbang dan pagar, jadi tak berhingga, untuk menjabat mere­ka yang di luar itu. Terutama mereka yang disingkirkan, dicurigai, atau bahkan dianiaya: bekas-bekas PKI, minoritas Tionghoa, umat Ahmadiyah. Kita tahu ia melakukan itu dengan nekat tapi prinsipiil—keberanian yang hampir tak terdapat pada orang lain.

”Saya dan Romo Mangun berbeda agama, tapi satu iman,” kata Gus Dur suatu kali.

Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng: sebuah konstruksi di sebuah wilayah. Benteng kukuh dan tertutup, bahkan dilengkapi senjata, untuk menangkis apa saja yang lain yang diwaspadai. Bangunan itu berdiri karena sebuah asumsi, juga kecemasan: akan ada musuh yang menyerbu atau pecundang yang menyusup.

Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng, melainkan sebuah obor. Sang mukmin membawanya dalam perjalan­an menjelajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal. Iman sebagai suluh adalah iman seorang yang tak takut menemui yang berbeda dan tak terduga. Terkadang nyala obor itu redup atau bergoyang, tapi ia tak pernah padam. Bila padam, ia menandai perjalanan yang telah berhenti.

Saya membayangkan Gus Dur tak pernah berhenti.

Ada sebuah nyanyian Fairouz yang digemari Gus Dur, dikutipkan oleh Mohammad Guntur-Romly, bersama liriknya. Petilannya, saya coba terjemahkan:

Pernahkah kau terima hutan seperti aku terima hutan, sebagai rumah tinggal, bukan istana

Pernahkah kau buat rumput jadi ranjang dan berselimutkan luasnya ruang,

merasa daif di hadapan yang kelak, dan lupa akan waktu silam yang hilang

Sering saya berpikir kenapa Gus Dur dengan tanpa ragu tak ikut mengutuk novel Salman Rushdie, The Satanic Verses.

Saya duga karena ia menemukan dalam novel itu empat unsur yang tak terpisahkan: kenakalan, kecerdasan, provokasi, dan humor.

Gus Dur tak keberatan dengan keempat unsur itu karena ia yakin Tuhan tak sama dengan mereka yang terusik oleh kenakalan dan humor. Saya kira Tuhan bagi Gus Dur bukanlah Tuhan yang terbayang dalam Perjanjian Lama, Tuhan yang menggelisahkan puisi Amir Hamzah: Tuhan yang ”ganas” dan ”cemburu”.

Yang ganas dan cemburu akan menampik kenakalan dan humor. Tuhan yang antihumor itulah yang diyakini Jorge, kepala biara dalam novel Umberto Eco, Il nome della Rosa. Di biara Italia abad ke-14 itu beberapa rahib ditemukan tewas. Kemudian diketahui bahwa mereka telah terkena racun ketika membuka sebuah buku terlarang di dalam perpustakaan; sebuah buku tentang tertawa.

Satu paragraf yang tak terlupakan: ”Mungkin misi mereka yang mencintai umat manusia adalah untuk membuat orang menertawakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa, sebab satu-satunya kebenaran terletak dalam belajar membebaskan diri kita dari kegandrungan gila-gilaan kepada kebenaran”.

Saya lebih bangga punya seorang Gus Dur yang bukan pre­siden, ketimbang seorang Gus Dur di atas takhta.

Betapapun keinginannya, ia tak pernah cocok di sana. Sebab ia bagian yang wajar dari sesuatu yang bagi saya sangat berharga—ketidakmauan untuk tunduk kepada yang kuasa dan yang beku— semacam anarkisme yang jinak dan jenaka.

Seorang intelektual publik terkadang yakin bahwa memasuki kehidupan politik (dan memperoleh kekuasaan) itu perlu. Yang sering dilupakan ialah bahwa ”yang perlu” belum tentu ”yang niscaya”, dan bahwa politik, sebagai panggilan, sebenarnya sebuah panggilan yang muram, sedih.

Dalam kesedihan itu kita seharusnya bertugas.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 11 Januari 2010~